Ulama Kok Tidak Bisa Bahasa Arab?
Sering saya tanya orang, siapa sih yang disebut ulama itu dan apa saja syarat-syarat yang harus dimilikinya.
Kebanyakan saya selalu menjawab ulama itu banyak jenis cabang ilmunya. Ada ulama hadits alias muhaddits. Ruang diskusi adalah kumpulan berjuta butir hadits dari sisi shahih atau tidaknya. Mereka tidak menarik untuk menarik kesimpulan hukum, sebab untuk itu ada jenis ulama khusus.
Kalau mau disebut contohnya gampang saja, itu loh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Mereka itu ulama hadits. Tugas mereka menyaring mana hadits shahih dan mana yang tidak.
Tentu saja hadits bukan hanya mereka berdua, tetapi juga hanya ikonnya.
Pelajari saja biografinya lengkap dengan kemauan dan kemampuannya, maka kita akan tahu apa saja persyaratan ulama dan tahu langsung seperti apa gambarnya.
Jangan tanya hukum agama, apakah itu halal atau haram, jangan tanya ke ulama ahli hadits. Jelas mereka bukan ahlinya. Kalau pun kita tanyakan pada mereka, tanya kurang detail.
Urusan bertanya hukum halal haram, kita bertanya pada fuqaha, ahli fiqih alias para mujtahid. Tugas mereka memang melakukan penelitian menyeluruh, baik dari Al-Quran atau sunnah, termasuk juga membahas apakah hadits itu shahih dan layak dibuat pijakan atau tidak.
Dan yang paling penting, tugas unik mereka memilih mana dari dalil-dalil yang tepat dan cocok untuk digunakan landasan hukum. Sebab meski ayat Al-Quran itu shahih semua, bahkan semuanya sampai derajat mutawatir, belum tentu cocok pakai landasan hukum masalah.
Jadi tugas fuqaha itu memang dua kali lipat lebih berat dari tugas ahli hadits. Karena itu persyaratannya pun jauh lebih banyak.
Lalu siapa contoh ulama ahli fiqih?
Dunia Islam mengenal para ahli begawan fiqih tidak lain adalah imam-imam mazhab itu. Al-Imam Abu Hnifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullahu ajmain.
Mereka bukan hanya berstatus mujtahid, tetapi level tertinggi, yaitu mujtahid multak mustaqil. Mereka adalah mujtahidnya segala mujtahid, guru tertinggi dari semua mujtahid. Semua mujtahid harus suka tidak suka harus menerima kaidah yang telah dirintisnya.
Tentu saja semuanya adalah penghafal Al-Quran 30 juz. Bahkan bukan hanya hafal lafadznya, tetapi mereka tahu pasti detail setiap ayat, termasuk ragam qiraatnya yang sebaliknya juga berkaitan dengan makna dan kesimpulan hukum.
Jangan tanya apakah mereka mengerti hadits apa tidak. Syarat minimal seorang mujtahid kelas dasar adalah menghafal 500 ribu hadits, baik matan maupun sanad. Di zaman kita ini, agak sulit menemukan orang yang bisa hafal segitu banyak.
Sementara itu, mereka berkomunikasi bukan berhenti pada hafal, tetapi juga tahu latar belakang (asbabul wurud) setiap hadits, kapan saja disampaikan, dimana, dalam konteks apa pun apakah hadits itu saling bertentangan dengan lainnya atau tidak. Semua informasi itu sudah ada di kepala sejak mereka masih SD. Alhasil, seluruh mujtahid adalah ahli hadits yang sudah matang.
Lalu ada seorang santri bertanya dengan lugunya, "Ustadz, apakah ulama itu harus bisa bahasa Arab?"
Sambil tersenyum saya jawab, ”Tentu saja, anakku. Mana ada ulama yang tidak bisa bahasa Arab? Semua ulama bukan hanya wajib berbahasa Arab, tetapi harus mengerti ilmu balaghah, adab, badi ', bayan dan semua cabang kesusastraan Arab."
Santri itu menjawab, "Tapi di pesantren kami, bahasa Arab tidak diajarkan dengan tuntas. Jadi kami lulus tidak bisa berbicara bahasa Arab. Kalaupun diajarkan, sedikit sekali."
Kali ini saya yang tersenyum kecut. La haula wala quwwata illa billah. Kalau pesantren yang konon mau mencetak ulama malah tidak mengerti bahasa Arab, lalu mereka mau jadi apa? Begitu keluh saya dalam hati.
Padahal jangankan jadi jadi ulama, lha wong Abu Jahal, Abu Lahab, dan teman-teman kafirnya itu saja bisa bahasa Arab. Malahan unta yang mereka tunggangi pun paham bahasa Arab. Buktinya, jika diperintah pakai bahasa Arab, unta-unta itu pun nurut.
Jauh sebelum kita berbicara tentang persyaratan ulama seperti di atas, maka yang diperlukan pondasi adalah kemampuan bahasa Arab. Pesantren wajib berbicara bahasa Arab untuk santrinya sampai benar-benar menguasai, jika mau tahu pesantren itu benar pendididikan ulama.
Selain itu, jika pesantren itu berlabel 'pesantren kader ulama', maka bahasa penguasaan bahasa Arab harus aktif dan tulisan harus menjadi syarat minimal yang bisa diterima. Mereka harus mampu mengingat dengan baik semua teks arab gundul itu cukup sekali membaca, dan bisa menerangkan kembali juga dalam bahasa Arab. Itu harus jadi syarat diterima di dalam program kader ulama.
Mengapa mau menunggu lama menunggu para santri sampai bisa bahasa Arab dulu? Lalu bagaimana bisa mereka bisa membaca kutubut turats (kitab kuning/gundul) yang diterima orang Arab?
Kalau sampai ada calon ulama tapi tidak paham bahasa Arab, tentu sangat tidak memenuhi syarat. Sebab levelnya masih di bawahnya Abu Jahal dan unta tunggangannya. Masa ulama kalah sama Abu Jahal?
Ulama kok tidak bisa bahasa Arab? Benar-benar kiamat sudah dekat !!
Oleh : Ust. Ahmat Sarwat, Lc, MA
Sumber text : rumahfiqih.com
Image : republika
lahaula walakuwataillabillahil aliul adhimmm mdh"an dak smpai terjadi tapi apaboleh buat klau seandainj terjadi karna semua itu rahasia ilahi 🙏👍💪
BalasHapus