Betulkah Islam Melarang Debat??



Akhir-akhir ini banyak postingan di media sosial yang mencela debat, seolah debat itu sesuatu yang hina, tercela, tidak terpuji dan menjijikkan, karena konon bukan budaya Islam. Orang yang suka berdebat disebut sebagai orang yang tidak memiliki akhlak yang baik dan mulia. Sebaliknya, sikap yang terbaik adalah meninggalkan berdebat, meskipun orang tersebut dalam posisi yang benar.
Tapi betulkah bahwa ajaran Islam sangat melarang berdebat?? Bukankah di dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 125 termaktub kalimat  “...wa jaadilhum billati hiya ahsan..”  berasal dari akar kata “jadala” (fi’il madhi) “yujaadilu” (fi’il mudhori’) “jaadil” (fi’il amr), yang artinya “...bantahlah/debatlah/lawanlah dengan cara yang lebih baik...”
Berikut redaksi lengkap  firman Allah dalam QS. An-Nahl 125 :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang  yang mendapat petunjuk.”
Kebanyakan orang memahami metode dakwah dalam ayat ini, yaitu dakwah bil hikmah, mau’izhah/mauidzoh hasanah, dan mujadalah hasanah. Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lima Fi Surotin Nahli Min Daqiqil Ma’ani yang ditulis oleh Sami Wadi’ ‘Abdul Fattah Syahadah Al-Qudumi menjelaskan, bahwa dakwah dan mujadalah atau debat adalah dua hal yang berbeda.
Jika mujadalah atau debat termasuk metode dakwah, maka redaksi ayat akan menjadi bil hikmah, wal mau’izhah al- hasanah, wal-mujâdalah al-hasanah. Tapi, kata jidal berbentuk kata perintah (fi’il amr) jadi jaadil seperti kata ud’u, maka debat tidak termasuk metode dakwah.
Karena kata dakwah dan debat pada ayat di atas sama-sama menggunakan kata perintah, maka Allah menyuruh berdebat setelah berdakwah dengan hikmah dan mau’izhah/mauidzoh hasanah.  Tujuan dakwah yang pertama ia mengajak orang-orang kepada agama Islam. Maka dari itu, dakwah haruslah dengan cara hikmah dan mau’izhah hasanah. Adapun tujuan pertama dari perdebatan ialah melawan musuh dan menegakkan hujjah yang benar.
Pemahaman di atas juga dijelaskan Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya. Maka jelaslah bahwa dakwah dan debat dua hal yang berbeda dan masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Meski begitu debat tetap diperbolehkan, sepanjang untuk melawan musuh, atau orang munafik atau orang Islam yang melecehkan Islam, serta untuk menegakkan hujjah (pendapat/opini) yang benar.
Sebab kalau orang Islam diharamkan berdebat, padahal ada risalah/pesan2 Islam yang wajib disampaikan, maka akan timbul kesan bahwa umat Islam adalah umat yang colong playu atau tidak berani menghadapi kebenaran, karena terkesan pasif dan meninggalkan kebenaran.
Cuma yang jadi masalah adalah debat yang bagaimana yang dilarang dan diizinkan oleh Islam?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, seorang ulama era kontemporer yang ahli dalam sains dan pernah menjabat sebagai ketua di Hai'ah Kibarul Ulama (semacam MUI di Kerajaan Arab Saudi) menjelaskan:
المجادلة والمناظرة نوعان:
النوع الأول: مجادلة مماراة: يماري بذلك السفهاء، ويجاري العلماء ويريد أن ينتصر قوله فهذه مذمومة.
النوع الثاني: مجادلة لإثبات الحق وإن كان عليه، فهذه محمودة مأمور بها، وعلامة ذلك- أي المجادلة الحقة- أن الإنسان إذا بان له الحق اقتنع وأعلن الرجوع،
Berdebat itu ada dua macam:
Pertama: berdebat mumaroot (kusir): yaitu berdebat untuk menjatuhkan orang-orang bodoh dan untuk menandingi ulama dan ingin perkataannya dimenangkan. Maka, berdebat seperti inilah yang tercela atau yang dilarang, dan harus dijauhi oleh umat Islam.
Kedua: berdebat untuk menetapkan kebenaran, walaupun itu akan membuatnya kalah. Debat inilah yang terpuji dan diperintahkan. Ciri-ciri debat yang benar adalah seseorang jika telah jelas baginya kebenaran, ia menerimanya dan mengumumkan rujuknya dari kesalahan, istilahnya tabayyun. Inilah debat yang terpuji atau dianjurkan oleh Islam.
Debat yang tercela adalah debat yang tidak memakai dasar ilmu, tanpa dalil, alias debat kusir. Contohnya lagi adalah debat dengan menggunakan otot, bukan argumen yang kuat. Salah satu akibat suka berdebat yang tercela adalah menghilangkan keberkahan ilmu.
Telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Saw bersabda,
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ
Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR. Bukhari, no. 4523; Muslim, no. 2668)
Yang dimaksud orang yang paling dibenci di sini adalah orang yang berdebat dengan cara yang keras.
Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka kebenaran itu akan mudah diterima, tidak perlu dengan debat yang keras. Karena kebenaran itu begitu jelas dan terang benderang.
Oleh karena itu, siapa saja yang berdebat hanya untuk cari menang, maka ia tidak diberi taufik dan tidak mendapatkan keberkahan ilmu. Adapun yang berdebat (berdiskusi) karena ingin meraih ilmu dan ingin meraih kebenaran serta menyanggah kebatilan atau memberikan klarifikasi atas fitnahan, maka itulah yang diperintahkan.

Adab berdebat dalam Islam

Sebagai mukmin yang baik, sudah seharusnya kita menjaga akhlak dalam segala perbuatan, termasuk saat sedang melakukan debat. Di bawah ini adalah beberapa tatanan/adab debat dalam Islam yang ditujukan untuk menjaga akhlak kita agar tetap baik, sebagai berikut :
·    1. Perhatikan topik yang diperdebatkan
Dalam berdebat atau berdiskusi ada hal-hal yang tidak boleh dibahas. Kita hanya boleh membahas hal-hal yang diperbolehkan oleh Allah untuk diperdebatkan dan didiskusikan, dan menjauhi perkara yang dilarang untuk diperdebatkan, misalnya mendebat perkara Allah dan ayat-ayatnya, seperti yang terdapat dalam (QS. Ar-Ra’du[13] : 13) :
“Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia lah Tuhan Yang Maha Keras siksa-Nya.”Mengingkari kemungkaran dan menyampaikan kebenaran memang merupakan kewajiban seorang muslim. Dalam masalah agama, apabila penjelasan mengenai kebenaran tersebut diterima, maka kehendakilah untuk melanjutkannya. Namun jika ditolak, maka hendaklah segera tinggalkan perdebatan tersebut. Dan untuk urusan dunia tidak ada alasan untuk berdebat karena itu dimurkai oleh Allah SWT, seperti sabda Rasulullah Saw :
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah ialah orang yang selalu mendebat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mendebat yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah tidak boleh mendebat dengan cara yang batil atau tanpa ilmu. 

2. Debat dengan cara yang baik (ahsan)
Maksudnya adalah debat harus dilakukan dengan cara yang baik dan berpedomankan pada Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana fungsi Al-Qur’an bagi umat manusia yaitu sebagai petunjuk. Ketika berdebat bukan hanya berfokus pada “inti” masalah, tapi juga harus menggunakan akal yang rasional, bukan prasangka buruk semata. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits berikut :
“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

·    3. Debat dilakukan pada hasil ide yang diperdebatkan
Debat dilakukan untuk menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, kemudian memberikan argumentasi bantahan yang benar dan akurat serta harus berdasarkan pada kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Di antara cara berdebat yang diajarkan dalam Al-Qur’an adalah teladan dari Nabi Ibrahim: 
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu menjawab “Saya dapat menghidupkan dan mematikan,” lalu Ibrahim kembali berkata “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dari barat,” lalu orang itu terdiam. (QS. Al-Baqarah[2] : 258)
Dari kutipan ayat tersebut dapat diketahui jika debat dilakukan dengan cara yang baik dan berdasarkan hasil ide dari yang diperdebatkan.

·    4. Tidak melakukan debat semata-mata untuk kesenangan
Debat menjadi salah satu cara yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dalam Islam seperti yang telah tertulis dalam (QS. An-Nahl[6] : 125). Lalu bukan berarti bisa setiap saat mendebat orang tanpa alasan yang kuat. Orang yang suka menjatuhkan dirinya dalam perdebatan dengan tujuan hanya ingin mendapati dirinya menang, maka hilanglah keberkahan ilmunya. Contohnya dapat kita lihat pada pelaku bid’ah, dia sama sekali tidak mencari kebenaran melainkan hanya ingin mencari-cari pembenaran untuk mendukung pendapatnya, bukan mencari kebenaran yang sejati.
Dan dalam hadist lain, Rasulullah pernah mengatakan jika pelaku bid’ah yang amalannya tidak didasarkan pada urusan agama Islam dan sunah Rasul, maka perbuatannya akan ditolak. Dan bid’ah dalam Islam tentu saja tidak diperbolehkan.

·    5. Dilarang menggunakan perkataan buruk dan keji
Saat berdebat, perlu diingat bahwa kita hanya berargumen untuk ide yang disampaikan, bukan orang yang menyampaikannya. Jadi, kita tidak boleh menggunakan kata-kata kasar yang tidak mencerminkan akhlak terpuji dalam Islam. Kita dilarang mencela, berikut dalilnya :
“Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR. Tirmidzi)
Debat memang diperbolehkan jika diperlukan, namun alangkah baiknya jika seorang mukmin menghindari hal tersebut sekalipun dia berada dipihak yang benar. Karena debat itu hanya menimbulkan amarah, menyebabkan dengki yang merupakan salah satu penyakit hati menurut Islam, serta menimbulkan celaan terhadap orang lain. Nabi Muhammad Saw bersabda :
“Aku berikan jaminan rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada di pihak yang benar. Dan aku menjaminkan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah dibagian teratas surge bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)
Dan janganlah melakukan debat jika hanya bertujuan untuk memamerkan ilmu pengetahuan yang dimiliki atau disebut ujub. Karena ujub dalam Islam termasuk perilaku dan sifat yang tercela, dan perbuatan pamer dalam Islam tentu dilarang.

Kesimpulan dari paparan di atas:
1. Debat itu terlarang bila tujuannya mencari pamor, yaitu menjatuhkan orang bodoh atau menyaingi orang yang lebih berilmu darinya, serta berusaha agat pendapatnya dimenangkan dengan mencari berbagai pembenaran
2. Debat itu dibolehkan jika tujuannya untuk mencari dan menetapkan kebenaran. Ciri seseorang berdebat untuk mencari kebenaran adalah jika telah jelas baginya kebenaran, baik itu muncul dari dirinya maupun dari pihak lawan debatnya, ia menerimanya dan mengumumkan rujuknya dari kesalahan (tabayyun).
3. Yang dimaksud hadits: "Aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan debat walaupun ia benar, " adalah debat yang tidak ada kaitannya dengan agama.
Contohnya ada dua orang berdebat. Yang satu berkata, "SBY itu orang Pacitan. " yang satu lagi berkata, "Bukan, ia orang Surabaya. " Siapa yang meninggalkan perdebatan seperti itu, walaupun pendapatnya benar, maka ia termasuk orang yang mendapatkan kabar gembira dalam hadits Nabi Saw tadi.
Wallahua’lamu bishowab.... semoga bermanfaat !!

Dirangkai oleh Bonang al-Fatih
Sumber : rumaysho.com, muslim.or.id, kompasiana, dll.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Lebih Penting daripada Materi

Bahagia Itu Sederhana, Yuk Belajar dari Kisah Tragis 5 Tokoh Dunia Ini