“Anggukan dan Kedipan Mata” Itu
“Jadi.. bagaimana caranya kamu ngajak temanmu untuk janjian?” tanya guru
yang baik hati itu pada murid laki-lakinya yang masih duduk di kelas VI SD.
Mereka sedang membicarakan bagaimana muridnya yang sudah “kenyang”
menyantap pornografi setiap hari ini, bikin janji kalau mau ‘ketemuan’ atau
‘jalan’ dengan teman sekelasnya.
“Yah, aku cuma lihat dia, ngangguk dan angkat alisku sedikit, gitu aja.
Dia sudah tau kok kalau aku ‘ngajak’,” jawab murid itu santai.
“Begitulah bu, saya jadi lemes dengarnya. Segampang itu bu!” jelas bu
guru ini kepada saya dalam sebuah pertemuan yang kami lakukan antara saya dan
guru-guru sebuah perguruan yang memiliki jenjang pendidikan dari PG sampai SMP
di sebuah kota.
“Iya, ibu!, saya sudah lama faham bahwa kalau sudah sampai pada tahapan
untuk melakukan ‘acting out’ dalam bentuk apa saja, pembicaraan di antara anak-anak
ini menjadi sangat singkat dan sederhana” jawab saya lesu.
Tenaga saya serasa terserap habis mendengarkan berbagai cerita yang
dikisahkan oleh guru-guru tersebut dari berbagai kelas dan jenjang pendidikan yang berbeda. Di dalam hati, saya
menyeru: “Ya Rabbana, semua yang saya takutkan sejak dulu kini jadi keyataan!”
Air mata saya berderai..
Di mata saya dan teman teman, bapak-ibu guru ini mujahid semua. Begitu
mereka pertama kali tiga tahun yang lalu mendapatkan informasi dari saya
tentang bahaya kerusakan otak yang mungkin terjadi karena pornografi, mereka
langsung menyelenggarakan pelatihan
SEMAI (Selamatkan Masa Emas Anak
Indonesia 2045).
Pelatihan ini memungkinkan pesertanya menjadi ‘penyampai kembali’
materi tentang bencana pornografi (P) ini kepada orang lain di sekitarnya.
Bapak-ibu guru ini langsung membuat kelompok-kelompok kecil dari orang tua yang
berminat untuk belajar parenting dan
kemudian bekerja sama melindungi anak
anak mereka.
Dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan itu pulalah, mereka
jadi punya ketrampilan untuk mendekatkan hati, berkomunikasi dengan sangat
terbuka dengan murid-murid mereka,
sehingga bisa mendapatkan beragam informasi yang mengejutkan jiwa
seperti di atas.
Saya sungguh terkesima dengan ketrampilan mereka. Saya memang berusaha
memenuhi harapan mereka yang sudah jauh-jauh hari disampaikan lewat staf saya
untuk bertemu dan membahas ‘temuan lapangan’
yang mereka peroleh kalau saya berkunjung ke kota mereka.
Saya ingin berbagi dengan anda, bahwa apa yang anda dengar dan lihat di
‘dunia maya’ tentang perilaku seksual beresiko pada anak-anak dengan berbagai
tema itu : Nyata!, dan sudah sangat luas terjadi. Salah satu buktinya adalah
cerita pendek saya di atas.
Selain itu, penelitian ilmiah yang baru saja selesai kami lakukan juga
membuktikan hal yang sama, bahwa anak anak (usia SD) yang telah kecanduan
Pornografi (diketahui dengan menggunakan alat ukur yang sudah divalidasi untuk
usia mereka). Memang telah berani
melakukan kegiatan seksual beresiko, karena bagian kontrol/kendali diri
atau BRAKING
SYSTEM di bagian depan otak mereka telah mengalami penurunan fungsi. Dengan
kata lain. REM PENGENDALIAN dirinya:
BLOOOONG...!!
Hal ini sulit sekali dikenali oleh para orang tua, karena kecanduan Pornografi
tidak nampak seperti halnya kecanduan Narkoba! Selain itu para orang tua yang
hanya memprioritaskan KEBERHASILAN
AKADEMIS anaknya saja, juga tidak segera menyadarinya, karena kecanduan
Pornografi berkorelasi rendah dengan keberhasilan akademis.
Ortu akan merasa aman dan umumnya akan mengatakan seperti ini: ”Ah,
gak mungkin anak saya kecanduan Pornografi, wong dia tetap rangking dikelasnya
!”
BENAR!, terbukti secara ilmiah! Tapi anak bapak-ibu itu bisa saja
melakukan maksiat atau berbagai bentuk perilaku seksual beresiko tanpa anda
ketahui!
GIMANA?
Jadi inilah himbauan saya :
1. Bapak ibu sadarilah bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai
gangguan fungsi otak pada anak-anak yang kecanduan Pornografi menunjukkan bahwa
KECANDUAN PORNOGRAFI = KECANDUAN NARKOBA!!
2. Anak-anak yang jatuh dalam kecanduan ini umumnya adalah anak-anak
yang sejak kecil kebutuhan jiwanya dan berbagai aspek perkembangan emosi dan
spiritualnya kurang terpenuhi dengan baik oleh kedua orang tuanya. Kalau hutang
di bank saja kita ciciI, maka hutang jiwa yang sengaja atau tidak sengaja telah
dilakukan oleh orang tua ini harus lebih segera dicicil untuk dipenuhi.
3. KOMUNIKASI umumnya sengaja atau tidak sengaja secara turun-temurun
berlangsung sangat tidak patut, antara ortu dengan anak-anaknya sejak mereka
kecil. Apalagi di era Whasapp dan Line ini, percakapan tatap muka jadi terbatas
dan akibatnya bagi perkembangan jiwa anak dan remaja semakin buruk saja.
Akibatnya adalah berpuluh jenis emosi negatif tumpuk bertumpuk dalam
jiwa dan fikiran anak yang membentangkan
jarak antara mereka dan orang tuanya nyaris tak bisa diukur dengan kilometer.
Sesak jiwa itu perlu mencari jalan keluar segera, dan itulah yang membuat mereka
menjadi penikmat narkoba yang kini masuk
negeri ini berton-ton dalam sepekan dan pornografi di ujung buku jari tangan!
Tidak ada jalan lain bagi kedua orang tua kecuali merekatkankan lagi
renggangan jiwa dengan anaknya, dengan sendiri-sendiri atau bersama minta maaf
setulus hati tentang semua keliruan selama ini pada anaknya. Kemudian
belajarlah untuk:
a. Membaca bahasa tubuh anak.
a. Membaca bahasa tubuh anak.
b. Menebak perasaannya, dengarkan dan belajar MENERIMANYA.
c. Punya waku dan bersedia memahami apa yang DIRASAkan dan DIALAMI
anaknya.
Dari memperbaiki komunikasi inilah orang tua dapat memaklumi apa saja
masalah dan kesulitan yang dialami anak selama ini, sekaligus berbagai
informasi tentang Pornografi yang telah diketahui anak, darimana/atau siapa,
bagaimana perasaannya ketika mengetahui hal ini, apa yang dia lakukan, kapan,
mengapa, sendiri atau bersama orang lain, dan apa yang dia rasakan sekarang
ini, apa dia butuh pertolongan ortunya atau tidak.
Bayangkanlah kalau komunikasi antara ortu dan anak selama ini hanya
terbatas pada Perintah dan Larangan semata? Inilah akibat bila pengasuhan hanya
sempat berlangsung di sisa-sisa waktu saja, di ‘sub kontrakkan’ ke tangan orang
lain pula dan … DIALOG serta BERCENGKRAMA sudah lama jadi barang langka di keluarga.
4. Ortu berkewajiban menjelaskan pada anak sesuai dengan usia, tingkat
kecerdasan dan tipe kepribadian anak tentang ”Dampak negatif Pornografi”.
5. Selanjutnya ortu harus duduk untuk membuat perencanaan ke depan,
bagaimana anda berdua secara jujur memperbaiki hubungan selaku pasangan bila
perlu, agar anda bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang, emosi dan spiritual anak-anak
anda dengan sebaik mungkin.
6. Tambal semua bolong-bolong soal keimanan, ketakutan pada Allahnya,
kecintaan pada Rasul dan Kitab sucinya. Soal Ibadah dan akhlaknya yang umumnya
kalau sudah kecanduan pasti “amburadul”.
7. Ambil segera keputusan, bila anda keduanya sibuk mencari nafkah atau
terlibat berbagai kegiatan/aktivitas untuk salah satu harus ada yang berkorban agar
bisa mendampingi dan menyelamatkan anak. Umur tidak tentu, bisa anda duluan
atau anak yang duluan, bukan?
Jangan pulangkan anak kepada sang Pemberi amanah yang dulu dianugrahkan
sempurna otaknya, kini kembali dalam keadaan “bonyok!”. Lagi jawab apa nanti di
Mahkamah Hisabnya?
8. Anak-anak ini harus dididik kembali untuk menyembah Allahnya dan
mendekat kepadaNya untuk mengharapkan keampunan dan kasih sayangNya agar bisa
sembuh dan keluar dari kecanduannya. Selain itu mereka juga perlu pendampingan
karena mereka harus mempunyai “kegiatan pengganti” dari kenikmatan yang
didapatkannya dari pornografi. Bagaimana mungkin mereka melakukannya sendiri?
Jadi bersegeralah wahai ayah bunda!! Dengan sigap rengkuhlah segera
anak anda yang sudah atau di tubir bencana. Uang yang anda kumpulkan dengan
menomerduakan mereka, saya khawatir tak akan cukup untuk membayar dan mengembalikan fungsi otaknya
yang sudah terganggu. Lagi pula masa depan yang bagaimana yang diharapkan dari
anak yang seperti itu.
Percayalah, tidak ada kata terlambat bagi seorang yang percaya pada
Allah.
Berikhtiarlah semaksimal mungkin dan balut semua ikhtiar itu dengan
doa.
Selamat berjuang !!
Bekasi, 25 Februari 2018
Elly Risman
#Parenting era digital
Mohon tolong dishare seluas-luasnya,
terutama bagi saudara, keluarga dan teman dekat anda. Tolong sampaikan salam
saya pada mereka: Berhentilah memberikan gadget ke tangan anak sebelum 13
tahun! Data terakhir yang kami peroleh menunjukkan bahwa ortu memberikan
anaknya gadget pada usia BATITA DAN BALITA, lebih tinggi dari pada ANAK SD.
Andai saja mereka sadar apa akibatnya !
Terimakasih sebelumnya untuk upaya Anda.
Ilustrasi : tribunnews.com
Komentar
Posting Komentar