Ulama Dikenal Karena Tulisannya (Karya Ilmiah)
Mungkin tidak terlalu banyak dari kita, khususnya kaum muda Islam hari ini, yang memahami bagaimana agungnya peradaban zaman dulu. Salah satunya yang mau saya sebutkan di sini adalah budaya yang mengulas ilmu yang mereka miliki.
Sebut saja silsilah ketersambungan kitab-kitab dalam madzhab Syafi'i. Awalnya, karya Al-Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H) sebagai guru besar nan agung yang diterjemahkan sebagai kitab. Orang menyebutkan dengan Al-Umm Imam Syafi'i. Lalu salah satu muridnya, Al-Muzani (w. 264 H) meringkasnya, kemudian dikenal dengan nama kitab itu Mukhtashar al-Muzani.
Ternyata kompilasi itu dibuatkan syarahnya menjadi Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab oleh Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H).
Kitab Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab karya Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H): diringkas menjadi al-Basith oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H): diringkas lagi oleh al-Ghazali (w. 505 H) menjadi al-Wasith: diringkas lagi menjadi al-Wajiz: diringkas lagi menjadi Khulashah, kesemuanya karya Imam al-Ghazali (w. 505 H).
Kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali: diringkas menjadi al-Muharrar oleh Imam Rafi 'i (w. 624 H). Lantas Kitab Al-Muharrar karya Imam Rafi'i (w. 624 H): diringkas menjadi Minhajut Thalibin oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H).
Ternyata kitab Minhajut Thalibin karya Imam an-Nawawi (w. 676 H): diringkas menjadi Manhaj di-Thullab karya Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Lalu disyarah sendiri oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) menjadi Fathu al-Wahhab.
Perlu dicatat bahwa selain diringkas dan disyarah, kitab Minhajut Thalibin ini juga disyarah kembali menjadi Tuhfat al-Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H). Dan disyarah juga menjadi Mughni al-Muhtaj oleh al-Khatib as-Syarbini (w. 977 H). Dan juga disyarah menjadi Nihayat al-Muhtaj oleh Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 H).
Sementara kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali (w. 505 H): disyarah menjadi dua kitab lagi, yaitu as-Syarhu as-Shaghir wa as-Syarhu al-Kabir dan al-Aziz oleh Imam Rafi'i (w. 624 H).
Kitab Al-Aziz ini kemudian diringkas menjadi ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin oleh Imam Nawawi (w. 676 H). Lalu kitab Ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin karya Imam Nawawi ini diringkas menjadi Raudhu at-Thalib oleh Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H).
Kemudian kitab Raudhu at-Thalib karya Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H): disyarah menjadi Asna al-Mathalib oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H)
Di sisi lain, kitab Mukhtashar al-Muzani ( w. w. 264 H): disyarah juga menjadi al-Hawi al-Kabir oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H).
Disyarah-diringkas-disyarah lagi-diringkas lagi .... dan seterusnya
Buat para ulama dahulu tak jemu-jemunya menulis dan menulis. Mungkin menulis untuk mereka ibarat bernafas, jika tidak menulis berarti mati.
Entah tulisan mereka bakalan dipamerin di bookfair atau tidak. Entah tulisan mereka bakalan menjadi best seller atau tidak. Pertanyaan para ulama itu tentang persetujuan hasil tulisan mereka. Mereka yang ingin memberikan manfaat kepada orang lain.
Hebatnya, kitab-kitab ulama yang ditulis sekian ratus tahun yang lalu, sampai saat ini pun masih dibaca dan diterjemahkan di seluruh penjuru dunia. Nama-nama mereka selalu disebut dalam setiap dialog keagamaan. Doa-doa kebaikan selalu tercurahkan kepada mereka, yang penuh keikhlasan menularkan ilmu yang bermanfaat bagi generasi-generasi yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya oleh mereka.
Sungguh benar perumpamaan yang rumit dalam QS ar-Ra'du: 17;
Sebut saja silsilah ketersambungan kitab-kitab dalam madzhab Syafi'i. Awalnya, karya Al-Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H) sebagai guru besar nan agung yang diterjemahkan sebagai kitab. Orang menyebutkan dengan Al-Umm Imam Syafi'i. Lalu salah satu muridnya, Al-Muzani (w. 264 H) meringkasnya, kemudian dikenal dengan nama kitab itu Mukhtashar al-Muzani.
Ternyata kompilasi itu dibuatkan syarahnya menjadi Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab oleh Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H).
Kitab Nihayat al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab karya Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H): diringkas menjadi al-Basith oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H): diringkas lagi oleh al-Ghazali (w. 505 H) menjadi al-Wasith: diringkas lagi menjadi al-Wajiz: diringkas lagi menjadi Khulashah, kesemuanya karya Imam al-Ghazali (w. 505 H).
Kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali: diringkas menjadi al-Muharrar oleh Imam Rafi 'i (w. 624 H). Lantas Kitab Al-Muharrar karya Imam Rafi'i (w. 624 H): diringkas menjadi Minhajut Thalibin oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H).
Ternyata kitab Minhajut Thalibin karya Imam an-Nawawi (w. 676 H): diringkas menjadi Manhaj di-Thullab karya Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Lalu disyarah sendiri oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) menjadi Fathu al-Wahhab.
Perlu dicatat bahwa selain diringkas dan disyarah, kitab Minhajut Thalibin ini juga disyarah kembali menjadi Tuhfat al-Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H). Dan disyarah juga menjadi Mughni al-Muhtaj oleh al-Khatib as-Syarbini (w. 977 H). Dan juga disyarah menjadi Nihayat al-Muhtaj oleh Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 H).
Sementara kitab Al-Wajiz karya Imam al-Ghazali (w. 505 H): disyarah menjadi dua kitab lagi, yaitu as-Syarhu as-Shaghir wa as-Syarhu al-Kabir dan al-Aziz oleh Imam Rafi'i (w. 624 H).
Kitab Al-Aziz ini kemudian diringkas menjadi ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin oleh Imam Nawawi (w. 676 H). Lalu kitab Ar-Raudhah atau Raudhatu at-Thalibin wa Umdat al-Muftiin karya Imam Nawawi ini diringkas menjadi Raudhu at-Thalib oleh Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H).
Kemudian kitab Raudhu at-Thalib karya Imam Ibn al-Maqarri al-Yamani (w. 837 H): disyarah menjadi Asna al-Mathalib oleh Imam Zakariyya al-Anshari (w. 926 H)
Di sisi lain, kitab Mukhtashar al-Muzani ( w. w. 264 H): disyarah juga menjadi al-Hawi al-Kabir oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H).
Disyarah-diringkas-disyarah lagi-diringkas lagi .... dan seterusnya
Buat para ulama dahulu tak jemu-jemunya menulis dan menulis. Mungkin menulis untuk mereka ibarat bernafas, jika tidak menulis berarti mati.
Entah tulisan mereka bakalan dipamerin di bookfair atau tidak. Entah tulisan mereka bakalan menjadi best seller atau tidak. Pertanyaan para ulama itu tentang persetujuan hasil tulisan mereka. Mereka yang ingin memberikan manfaat kepada orang lain.
Hebatnya, kitab-kitab ulama yang ditulis sekian ratus tahun yang lalu, sampai saat ini pun masih dibaca dan diterjemahkan di seluruh penjuru dunia. Nama-nama mereka selalu disebut dalam setiap dialog keagamaan. Doa-doa kebaikan selalu tercurahkan kepada mereka, yang penuh keikhlasan menularkan ilmu yang bermanfaat bagi generasi-generasi yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya oleh mereka.
Sungguh benar perumpamaan yang rumit dalam QS ar-Ra'du: 17;
فأما الزبد فيذهب جفاء وأما ما ينفع الناس فيمكث فى الأرض كذلك يضرب الله الأمثال
"Sebagai buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat bagi manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan."
Mari menulis yang sehat, menulis yang bermanfaat, menulis yang akan dinikmati oleh generasi yang dihasilkan. Masalah royalti, biar Allah subhanau wa ta'ala saja yang membalasnya.
Oleh : Ust. Hanif Luthfi, LC, MA
Sumber text : rumahfiqih.com
Image : Silha
Komentar
Posting Komentar